Samosir-Kliktodaynews.com||Bencana banjir bandang di Kenegerian Sihotang disebabkan oleh ekologis, kerusakan hutan akibat penebangan hutan di atas kenegerian Sihitang. Dan Penebangan tersebut dilakukan oleh perusahaan Pulp.
Demikian dikatakan Kelompok Study Pengembangan Masyarakat (KSPPM) Leorena Sihotang kepada warrwaan, Rabu (29/11/2023) di desa Siparmahan Kecamatan Harian Kabupaten Samosir.
Diungkapkan Leorena, kejadian banjir bandang tersebut terjadi pada tanggal 13 November 2023 malam. Besoknya tim KSPPM melakukan investigasi dengan menggunakan peralatan kamera stone. Hasilnya penebangan hutan di bukit di atas lokasi banjir bandang tampak berjarak lebih kurang tiga kilo meter dari curaman, ujarnya.
Maka dari hal tersebut kami simpulkan kegiatan TPL di sana harus dihentikan. Pemerintah daerah harus berperan, agar secepatnya mengusulkan ke perintah pusat supaya TPL ditutup, katanya.
“Tak ada alasan untuk tidak menutup TPL, jangan dibuat alasan tidak ada kewenangan pemerintah daerah,” sebutnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang penduduk kenegerian Sihotang, Sartono Sihotang, tutup kenegerian Sihotang atau tutup TPL? Kata Sartono.
Ditambahkan Sartono, kami di empat desa dan tiga desa terdampak banjir bandang itu sampai sekarang masih trauma. Terutama jika datang hujan, kami was-was dan ketakutan, bebernya.
Didampingi pendeta, KSPPM dan warga setempat merencanakan aksi besar-besaran untuk menyuarakan “tutup TPL.”
Diketahui sebelumnya, pihak KSPPM pada tanggal 14 November merilis, saya Leorana Sihotang bersama temanku Tara mengunjungi Desa sihotang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Senin malam, 13 November 2023 lalu, sebagaimana diceritakan oleh Catur Sihotang, penduduk Desa Siparmahan, merupakan malam yang mencekam bagi masyarakat di sana, hujan deras turun sejak sore hingga malam pukul delapan. Setelah berlangsung 2 jam arus sungai binanga Godang dan Binanga Sitio-Tio yang semakin melebar dan deras.
Melihat arus sungai yang semakin meluap ke mana-mana, warga berupaya menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang lebih aman. Sebagian besar berangkat naik kapal ke Pantu Batu, pulau di seberangnya, sementara yang lain mencari perlindungan di Sopo Godang Sihotang.
Semua berusaha menyelamatkan diri dan keluarganya. Namun, sayangnya, Ibu Rosmawati Habeahan berusia 65 tahun, tidak ditemukan hingga tulisan ini dibuat. Keluarga dan warga sekitar telah berupaya mencarinya hingga Selasa sore, namun korban belum ditemukan.
Salah satu anak Ibu Rosmawati Habeahaan, Pak Dedi Sihotang, yang datang dari Sidikalang menyampaikan kesedihannya. Setelah mendengar kabar ibunda tercintanya tidak ditemukan paska banjir bandang di kampungnya, dia langsung beranjak dari Sidikalang.
Banjir bandang atau dalam bahasa lokal disebut surpu, mengakibatkan dampak kerusakan yang luar biasa di wilayah tersebut. Selain rasa takut dan trauma, kerugian secara ekonomi juga cukup besar, hamparan ladang dan sawah tertimbun material lumpur dan batu, banyak peralatan pertanian seperti mesin traktor, genset, lemari, mesin pompa, dan sejumlah perhiasan rusak dan hilang terbawa arus.
Banjir bandang sudah terjadi beberapa kali dalam sepuluh tahun terakhir di wilayah ini, namun kali ini tidak hanya merusak Desa Sihotang, tetapi juga melibatkan empat desa lainnya, yaitu Desa Simarsoit Toba, Desa Hariarapohan, Desa Parmahanan, dan Desa Dolok Raja.
Diperkirakan 80% lahan pertanian di Sihotang rusak dan terbawa arus sungai, termasuk lahan yang siap untuk menanam padi, yang kini tertimbun pasir, batu, dan potongan kayu. Perladangan warga yang telah ditanami jagung, kopi, coklat, dan tanaman lainnya juga turut terkena rusak parah.
Tak hanya kerusakan lahan pertanian, dari pengamatan kami, sejumlah rumah mengalami kerusakan parah dan ringan. Dua unit rumah di Onan Godang dan lima unit rumah di Parmahan mengalami kerusakan berat. Tidak hanya rumah, selain infrastruktur jalan, beberapa fasilitas public seperti gedung sekolah SMP N 2 Harian, kantor desa, dan gedung sekolah PAUD juga tertimbun batu dan pasir.
Kami mencoba menyusuri sumber air banjir bandang tersebut. Secara geografis Desa Siparmahan memang berada di lembah di bawah Hutan Sihotang, di mana menurut penduduk setempat ada dua aliran sungai yang dekat dengan lokasi banjir bandnag, yakni Binanga Sitio-tio dan Binanga Godang.
Melalui tangkapan kamera drone, terlihat bahwa di hulu Tombak Sihotang, yang merupakan DAS kedua sungai tersebut, tepatnya di wilayah Hutagalung ada aktivitas penebangan pohon secara massif, dan wilayah tersebut juga masuk dalam areal konsesi sebuah perusahaan pulp and paper. Dari pengukuran jarak dengan menggujnakan aplikasi Avenza map menunjukkan bahwa Desa Parmahanan, lokasi banjir bandang, hanya berjarak sekitar 3.5 km dari batas konsesi perusahaan tersebut.
Melihat kondisi di atas, banjir bandang tersebut terjadi akibat kerusakan hutan yang massif dari waktu ke waktu di hulu. Peristiwa ini menjadi penringatan bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat terlebih perusahaaan, bahwa pembangunan harus memperhatikan aspek lingkungan.
Isu perubahan iklim yang menjadi focus perhatian dunia saat ini harus disikapi serius. Aksi mitigasi dan adaptasi iklim harus melibatkan semua pihak. Namun, negara atau pemerintah memegang peranan yang sangat penting, agar masyarakat local dan petani yang berada di wilayah rentan bancana mendapatkan perhatian yang lebih serius.
Izin-izin perusahaan perusak lingkungan yang berpotensi menimbulkan bencana ekologis harus dievaluasi dan dicabut. Di sisi lain, masyarakat juga, dalam kerentanannya, harus Bersama-sama memperjuangkan lingkungan yang aman dan nyaman buat kehidupan mereka saat ini dan masa yang akan datang. (Tim/KTN)