Calon Tunggal Pilkada Siantar dan Ancaman Kolom Kosong

diskusi yang dilaksanakan komunitas Mata Publik dengan mengusung tema Sengkarut Pilkada Siantar Calon Tunggal VS Kolom Kosong.
diskusi yang dilaksanakan komunitas Mata Publik dengan mengusung tema Sengkarut Pilkada Siantar Calon Tunggal VS Kolom Kosong.
Bagikan :

Pematangsiantar – Kliktodaynews.com Pilkada kota Pematangsiantar yang hanya diikuti satu pasangan calon Asner dan Susanti dianggap sebagian sebuah kemuduran berdemokrasi. Hal itu pula yang kemudian memunculkan gerakan memilih kolom kosong yang semakin masif.

Fenomena itu pun kemudian diangkat dalam diskusi yang dilaksanakan komunitas Mata Publik dengan mengusung tema Sengkarut Pilkada Siantar Calon Tunggal VS Kolom Kosong.

Pada diskusi itu diisi oleh narasumber diantaranya ketua Bawaslu kota Siantar, M. Syahfii Siregar, Pengamat Politik Robin Samosir, pemilih pro kolom kosong Pdt. Horas Sianturi, tim pemengan Pasti, Mangasi Purba, akdemisi Universitas Simalungun, Dr. Sarles Gultom, perwakilan AJI Medan Imran Nasution, kordinator GPA Al Washliyah Sumut Muliadi Saibul dan ketua GMKI Siantar-Simalungun May Luther Dewanto Sinaga.

Diskusi itu pun membahas jumlah calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 yang mengalami peningkatan. Dari 270 daerah yang melakukan Pilkada 25 daerah berpotensi diikuti calon tunggal.

Akademisi fakultas Hukum Universitas Simalungun, Dr. Sarles Gultom mengatakan fenomena calon tunggal disebabkan beberapa hal seperti kegagalan partai politik mencetak para kader dan juga mahalnya mahar politik yang harus dikeluarkan kandidat calon.

Meski dibenarkan secara konstitusi, Sarles berpandangan adanya calon tunggal yang diatur dalam UU 10 tahun 2016 perlu direvisi karena sejatinya pilkada merupakan kontestasi yang menghadirkan beberapa calon bukan sebaliknya pertarungan antara paslon dengan kotak kosong.

“Secara konstitusi tidak ada yang salah namun calon tunggal tentu tidak menawarkan pilihan alternatif kepada masyarakat. Untuk itu kedepanya pintu masuk yang memungkinkan adanya calon tunggal perlu ditinjau kembali agar tidak menghilangkan kontestasi” tutur Sarles.

Gerakan relawan menangkan kolom kosong pun semakin masif menyuarakan protes dan menggabungkan kekuatan menentang hegomoni partai politik.

Horas Sianturi salah satu masyarakat Siantar yang pro terhadap kemenangan kolom kosong mengatakan memilih kotak kosong di daerah dengan paslon tunggal juga menjadi kebebasan yang harus dilindungi.

Hal tersebut kata Horas untuk memperingatkan partai politik tidak membatasi pilihan yang seolah menciptkan persekokolan kepentingan segelintir elit partai.

“Memilih kolom kosong juga merupakan hak. Hal ini juga sebagai pembelajaran kepada partai politik agar tidak melakukan hal yang sama pada pemilihan berikutnya. Karena kedaulatan sepenuhnya ada pada rakyat” ujar Horas.

Namun pernyataan lain disampaikan tim pemenangan pasangan calon Asner dan Susanti yang berpandangan kolom kosong yang akan berhadapan dengan calon tunggal di pilkada Siantar justru menjadi jembatan yang menyelamatkan demokrasi.

“Justru fenomena calon tunggal dan pilihan memilih kolom kosong adalah bentuk penyelamatan demokrasi dimassa pilkada karena masyarakat diberi kesempatan dipilih atau pun menentukan pilihannya” ungkap Mangasi.

Mangasi Purba mengatakan lahirnya calon tunggal di Siantar adalah sebuah kenyataan dari proses penjaringan hingga massa pendaftaran oleh KPU.

“Jadi hal ini sudah melalui tahapan panjang dengan melihat sosok yang ideal untuk memimpin. Jika pun pada akhirnya hanya satu pasangan calon di Siantar rakyat jugalah yang akhirnya menentukan pilihannya” terang Mangasi.

Melawan kolom kosong pasangan memang tidak menjamin pasangan Asner dan Susanti terpilih dalam pertarungan 9 Desember mendatang.

Kemenangan kolom kosong melawan calon tunggal sebelumnya perna terjadi di Pilkada Makasar. Namun hal itu menurut kordinator GPA Al Washliyah Muliadi Saibul justru merugikan masyarakat Kota Pematangsiantar nantinya.

“Ya, kalau ada yang memilih kolom kosong itu demokrasi juga. Namun tentu merugikan masyarakat, karena nantinya mendagri dan gubernur yang akan menunjuk wali kota pengganti. Rakyat Siantar yang rugi. Saya kira masyarakat harus cerdas menentukan pilihan,” sebut Muliadi.

Fenomena calon tunggal di Siantar memang berbeda sebab pasangan Asner dan Susanti mendapat seluruh rekomendasi partai yang memiliki 30 kursi di DPRD. Hal itu dikatakan ketua Bawaslu Siantar, M Syahfii Siregar.

Selain itu tambah Syahfii sosialisasi memenangkan kolom kosong memang tidak diatur secara mendetail dalam peraturan PKPU dan peraturan perundang-undangan soal tim kampanye kotak kosong.

“Ada kekosongan regulasi kita dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk kebebasan berpendapat dalam rangka kontestasi dengan kotak kosong ini dan keberadaan calon kepala daerah tunggal tetap sah secara konstitusional.” ujar Syahfii.

Namun demikian, memilih kotak kosong di daerah dengan paslon tunggal juga menjadi hak pemilih selama tidak melakukan kampanye hitam atau politik transaksional.

“Lebih tepatnya bukan kampanye namun sosialisasi untuk memilih kolom kosong. Karena kalau kampanye harus ada tim pemenanganya. Namun secara demokrasi hal itu merupakan kebebasan” tutupnya.

Calon tunggal dan kehawatiran oligarki kekuasaan.

Pengamat politik Robin Samosir menyampaikan jika terjadi pasangan calon tunggal di Pilkada Kota Pematangsiantar tahun 2020 itu merupakan kemunduran.

Lebih jauh Robin berpandangan fenomena calon tunggal di Siantar dirasa sebagai sikap yang mengkhianati roh reformasi yang semakin menguatkan dinasti politik tidak sehat.

“Sejatinya pemilihan kepala daerah adalah ajang mencari sosok pemimpin yang terbaik dengan pilihan-pilihan yang ada. Jika di Siantar pada akhirnya ada calon tunggal tentu menjadi sebuah kemunduran,” kata Robin.

Lulusan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gajah Mada itu menyinggung sikap partai politik yang kompak merekomendasi hanya satu kandidat pasangan calon di Pilkada Pematangsiantar.

Robin menegaskan, sebaiknya politik tidak hanya sebatas mencari kemenangan semata. Tetapi juga menawarkan sosok-sosok pemimpin yang ideal untuk kepentingan masyarakat.

“Calon tunggal meningkat, dinasti politik juga semakin mendapat tempat nyaman. Demokrasi seperti ini tidak sehat, elite politik kita belum siap berkompetisi dan belum siap untuk kalah. Ini menunjukkan bahwa politik dinasti masih kuat,” ungkap Robin.

Sementara itu ketua GMKI kota Siantar-Simalungun May Luther Dewanto Sinaga berpandangan keberadaan calon tunggal yang semakin meningkat di Pilkada 2020 dinilai menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.

“Jika calon tunggal menunjukan oligarki kekuasaan yang dikhawatirkan akan membuat korupsi semakin marak dilingkaran eksekutif dan legislatif. Karena itu memenangkan kolom kosong adalah jalan yang terbaik” papar Luther. (REL/KTN)

Bagikan :