Santri bukan hanya benteng akidah dan moral, tetapi juga penjaga kedaulatan serta penopang kebangsaan,” ujar Bupati Ayu.
Bupati juga menegaskan bahwa delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, jihad di era kini bukan lagi dengan mengangkat senjata, melainkan melalui penguasaan ilmu, penegakan etika, dan penguatan solidaritas sosial sebagai kekuatan pembangunan nasional.
“Santri masa kini harus mampu menjawab tantangan zaman dengan kecerdasan spiritual, kedalaman moral, dan kapasitas profesional. Santri harus hadir di setiap lini kehidupan — di kampus, pemerintahan, dunia usaha, ruang digital, hingga kancah peradaban global — tanpa meninggalkan akar tradisi pesantren,” lanjut Bupati.
Dalam amanat tersebut, Bupati juga menyampaikan ajakan PBNU kepada seluruh keluarga besar Nahdlatul Ulama, pesantren, dan elemen bangsa untuk melakukan konsolidasi nasional, memperkuat kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman).
Konsolidasi ini bukan semata agenda politik, melainkan gerakan kebangsaan untuk meneguhkan kembali jiwa Indonesia , jiwa yang tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil). Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi Islam Nusantara, yang membuat Indonesia tetap kokoh sebagai bangsa besar, berdaulat, dan berkepribadian.
“Cita-cita kita bukan hanya menjaga Indonesia tetap merdeka, tetapi juga membawanya menuju peradaban yang mulia, peradaban yang menghormati manusia, memuliakan ilmu, dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Peradaban mulia hanya akan tumbuh jika bangsa ini bersatu, rakyatnya berakhlak, dan pemimpinnya berjiwa pengabdian.
