Ketika Pemimpin Pers Menjaga Janji dengan Waktu Salat: Refleksi akhir Tahun untuk Farianda

Bagikan :

Di sana, semua atribut duniawi ditanggalkan. Jabatan, pengaruh, dan status sosial luruh dalam satu barisan yang sama.

*Keseimbangan Kepemimpinan*

Pengalaman bertemu berulang kali di masjid itu memberi saya keyakinan bahwa kepemimpinan yang sehat bertumbuh dari keseimbangan antara kesibukan lahiriah dan ketenangan batin.

Seorang pemimpin yang hatinya terpaut dengan masjid cenderung memiliki ruang refleksi, kemampuan menahan diri, dan kepekaan moral yang lebih terjaga.

Bagi organisasi seperti PWI, hal ini memiliki makna strategis. Pers adalah profesi yang setiap hari bergulat dengan fakta, konflik, kepentingan, dan tekanan.

Tanpa fondasi etika yang kuat, pers mudah tergelincir menjadi sekadar alat, bukan penyangga demokrasi.

Dari masjid—atau rumah ibadah—wartawan belajar tentang kejujuran, amanah, kesabaran, dan tanggung jawab, nilai-nilai yang sejatinya merupakan inti jurnalisme itu sendiri.

Pertemuan tanpa janji di masjid itu juga mengajarkan satu hal penting tentang kepemimpinan: keteladanan tidak selalu lahir dari podium atau pidato panjang. Ia sering justru hadir dalam tindakan-tindakan sunyi, yang tidak dipublikasikan, tidak didokumentasikan, dan tidak diniatkan untuk pencitraan.

*Kuat dan Otentik*

Dalam konteks ini, saya melihat Farianda Putra Sinik bukan sedang “memperlihatkan” religiusitas, melainkan sedang “menjalani” rutinitas spiritualnya secara wajar. Justru karena itu kesannya menjadi kuat dan otentik.

Pesan ini penting saya sampaikan sebagai wacana bagi seluruh anggota PWI.

Bagikan :