Ketika Pemimpin Pers Menjaga Janji dengan Waktu Salat: Refleksi akhir Tahun untuk Farianda

Bagikan :

PENULIS:  Zulfikar Tanjung (Penasihat PWI Sumut)

Ada pengalaman personal yang kerap kali terasa kecil, nyaris sepele, namun justru menyimpan makna besar ketika direnungkan lebih dalam.

Pengalaman itu saya alami berulang kali selama beberapa tahun terakhir sejak mengenal Ketua PWI Sumatera Utara, Farianda Putra Sinik.

Dalam berbagai kesempatan, di tempat dan urusan yang sama sekali berbeda, tanpa janji, tanpa kesepakatan, bahkan tanpa saling memberi kabar, kami justru sering bertemu di masjid.

Bukan di satu masjid yang sama, tetapi di masjid-masjid yang berbeda. Kadang di pusat kota, kadang di pinggiran. Kadang di sela kegiatan organisasi, kadang di antara jadwal liputan, rapat, atau perjalanan tugas.

Pertemuan itu bukan direncanakan. Kami tidak janjian. Kami sama-sama datang dengan urusan masing-masing. Namun waktu salat mempertemukan kami dalam satu ruang yang sama: masjid.

Dari situ saya menangkap satu hal penting: di tengah kesibukan yang padat, tanggung jawab organisasi, tekanan profesi, dan dinamika dunia pers yang tak pernah sepi, masih ada kesadaran untuk berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan menjaga hubungan dengan Tuhan.

Bagi saya, itu bukan hal kecil. Justru di situlah letak maknanya. Sebagai pemimpin organisasi profesi wartawan terbesar, Ketua PWI tidak hanya diuji oleh kecakapan manajerial atau keluwesan berkomunikasi, tetapi juga oleh keteguhan karakter.

Masjid—atau rumah ibadah bagi pemeluk agama apa pun—adalah salah satu ruang paling jujur dalam membentuk karakter itu.

Bagikan :