Pematang Bandar-Kliktodaynews.com Tragedi di Wamena, Papua beberapa waktu lalu sangat menyedihkan dan membekas di hati para pengungsi yang menderita dan mengalami kerugian, bahkan tak sedikit orang yang meninggal dunia akibat kejadian tersebut. Terlebih kepada warga pendatang dari luar Papua harus berjuang keras menghindarkan diri untuk bisa lolos dari maut yang menghampiri setiap saat.
Seperti penuturan yang dialami Jhon Harisven Sinurat (52) bersama istri dan kedua buah hatinya, warga pendatang di Wamena, Papua yang menceritakan kepada reporter media ini saat disambangi di kediaman orang tuanya, Selasa (22/10/2019) sekira pukul 14.30 Wib di Huta I, Nagori Mariah Bandar, Kecamatan Pematang Bandar ketika dia beserta keluarganya meninggalkan Wamena.
Saat itu tanggal 23 September 2019 pagi dimana ia bersama istri dan anaknya sedang berada di dalam rumah menunggu untuk melakukan aktivitas berdagang seperti biasanya. Pagi itu seusai anaknya yang sulungnya berangkat sekolah, istri Jhon mendapat kabar dari tetangganya bahwa akan ada bentrok.
Namun, bentrok yang awalnya dikira sebagai bentrok biasa membuat ayah dua anak ini tidak khawatir. Tepat pukul 09.00 WIT, ia mendengar suara gemericik api yang mulai menyala tepat di belakang kediaman mereka yang hanya berjarak sekitar 3 meter. Setelah diperiksa ternyata massa sudah membakar 3 unit mobil milik tetangganya yang diparkirkan di bekang rumah kontrakannya.
“Dalam hati, aku hanya bisa berdoa dan pasrah kalau rumah terbakar. Karena aku lihat orang itu udah bawa parang mengelilingi rumah. Kemungkinan jalan satu-satunya bobol samping rumah,” katanya dengan logat Papua.
Pria berkulit kuning langsat ini mengisahkan, setengah jam kemudian api yang membakar mobil mulai padam dan disaat itulah ia mulai mendengar ketukan di depan pintu rumahnya. Dengan rasa ketakutan ia tidak menggubris ketukan pintu itu dan ia berbicara kepada istrinya bahwa bagaimanapun nanti kondisinya ia meminta kepada istrinya untuk lari menyelamatkan diri ke tempat yang aman.
“Pintu digedor kuat, sampai saya buka dan saat itu saya pasrah karena mereka sudah membawa parang. Tak ada satupun dari mereka yang saya kenal,” ucapnya.
Lalu, dua pria yang berdiri paling depan di hadapannya itu sempat ingin mengacungkan parangnya ke arahnya. Hanya saja, salah satu dari pria yang berdiri di barisan belakang meminta untuk tidak melakukan hal tersebut. Urusan mereka tak berhenti di situ, ketiganya kemudian dibawa ke salah satu gereja dimana di dalam gereja tersebut ada sekitar 250 orang yang disandra. Sekitar 6 jam lamanya mereka disandra dalam gereja, hingga akhirnya pihak keamanan dari TNI dan Polri melakukan negosiasi untuk membebaskan mereka.
Selama penyanderaan, mereka tidak diberi makan dan minum, suasana penuh sesak karena banyaknya orang yang disandra. Negosiasi pun berhasil dilakukan dengan syarat warga Papua yang sebelumnya diamankan pihak keamanan dibebaskan dengan jaminan sandra juga dibebaskan.
“Kami dibarter dengan orang Papua itu, tahanan orang Papua itu ada 6 orang. Kami satu persatu diminta keluar. Posisi gereja saat itu sudah dipagari pakai kayu dan kami keluarnya menunduk,” katanya dengan suara parau.
Tak sampai disitu, kemudian mereka dibawa ke Polres Wamena untuk diungsikan sementara waktu. Sekitar 2 minggu lamanya mereka mengungsi hingga akhirnya mereka mendapatkan jatah tiket pesawat Hercules untuk diungsikan ke Jayapura. Setelah beberapa hari di sana, mereka dijemput tim dari Perintah Provinsi Sumatera Utara untuk kembali ke kampung halamannya.
# Terpisah Dengan Anak Sulung, Setelah Malam Hari Akhirnya Bertemu
Anak sulung mereka yakni Yoel Sinurat yang sempat pergi ke sekolah ternyata sudah diamankan terlebih dahulu oleh pihak sekolah dan usai orang tuanya dibebaskan dari penyanderaan akhirnya Yoel dengan orang tuanya baru bisa ketemu malam hari sekitar pukul 21.00 WIT.
“Aku sudah sempat kebingungan, bagaimana dengan kondisi anakku. Karena setelah kejadian pembakaran itu, jaringan telepon mati, listrik mati. Sama sekali tidak ada akses komunikasi. Malam lah kami bisa jumpa di Polres itu,” cerita pria yang juga pernah bekerja di Samarinda ini.
Kendati demikian, ia tidak menyalahkan apapun yang dilakukan masyarakat Papua terhadap mereka. Hanya saja, ia menyayangkan mudahnya masyarakat Wamena untuk terhasut isu yang belum tentu kebenarannya.
“Mereka juga saudara kita. Tapi saya minta, selamatkan saudara-saudara kita yang ada di sana, kondisi di sana benar-benar kacau. Sangat disayangkan, kenapa masyarakat sana cepat kali terprovokasi. Dan aksi itu bukan dari masyarakat Wamena, tapi masyarakat luar,” katanya.
# Sudah Beredar Isu Rusuh, Satu Bulan Sebelumnya
Berbeda dengan cerita Elfrina Boru Silaban (28) yang ditemui di kediaman orang tuanya di Kelurahan Pematang Bandar, ibu dua anak ini bercerita bahwa sebulan sebelum terjadinya kerusuhan di Wamena, tetangga Elfrina bercerita bahwa dalam waktu dekat akan ada kerusuhan besar-besaran. Isu tersebut juga terus berkembang hingga terjadi kerusuhan itu.
Awal mula kerusuhan tersebut diduga masyarakat Papua menganggap bahwa mereka dijajah oleh pendatang. Maka dari itu masyarakat Papua berang hingga melakukan tindakan kerusuhan.
“Sebulan sebelum terjadi, ada tetangga bercerita kalau akan ada kerusuhan. Tetapi kami tidak begitu saja percaya, karena kami kenal baik dengan masyarakat di sana (Wamena, red),” kata Elfrina yang sudah menetap di Papua selama 7 tahun terakhir.
Dengan mata berkaca-kaca ia menceritakan kisahnya hingga akhirnya ia selamat dan sampai saat ini suaminya Maradona Simare-mare masih berada di pengungsian untuk menjaga kediaman mereka.
“Sampai sekarang suamiku masih di pengungsian, memang gak mau pulang dia ke Sumatera karena takut rumah kami dijarah,” jelas ibu Hiskia Angel Simare-mare dan Mita Nasea Simare-mare ini.
Wanita bertubuh tambun ini melanjutkan, kediamannya memang termasuk wilayah aman karena tak jauh dari rumahnya ada Markas Kodim, sehingga masyarakat Papua tidak melakukan tindakan di sekitaran kediamannya.
“Karena dekat Kodim lah makanya kami aman. Seminggu kami di Markas Kodim, sempat dibilang aman. Tahu-tahunya gejolak lagi, kami mengungsi lagi sampai kami dikirim ke Jayapura lalu kembali ke kampung halaman,” ceritanya.
Ada kejadian dimana saat ia kembali ke rumahnya usai seminggu mengungsi, saat itu ia mulai beraktifitas seperti biasa dan membuka usaha kelontongnya. Namun, saat ada seorang pembeli datang, ia melihat pria yang tidak ia kenal membawa uang dengan jumlah banyak sekali dengan menenteng senjata api di pinggangnya.
“Kami yakin ada pendana dalam bentrok itu, karena ada pembeli dengan membawa uang banyak kali sambil menyimpan senjata api yang diselipkan di pinggangnya. Tapi aku yakin kalau itu bukan warga Wamena, itu warga dari gunung-gunung sana yang turun lalu melakukan penyerangan,” kenangnya.
Sejak saat itu, ia kembali lagi ke pos pengungsian dan tidak melakukan aktifitas seperti biasanya dan memilih untuk kembali ke kampung.
“Tadi malam begitu kami sampai di Medan, saya dengan suami masih bisa komunikasi. Puji Tuhan semua baik-baik saja. Saya juga ucapkan banyak terimakasih kepada Bupati Simalungun dan Camat Pematang Bandar yang sudah repot-repot menjemput kami dan mengantarkan kami sampai rumah,” katanya.
Biasanya pada tanggal 1 Desember akan ada kegiatan perayaan hari jadi OPM dimana saat itu akan banyak masyarakat Papua yang melakukan rangkaian kegiatan untuk memperingatinya. “Biasanya kalau sudah masuk 1 Desember akan ada peringatan hari jadi (OPM, red). Disitulah biasanya akan ada bentrok,” katanya lagi.
Sebelumnya, JR Saragih dan sejumlah pimpinan SKPD serta camat menjamu para pengungsi ini di salah satu rumah makan di Kota Pematangsiantar dan selanjutnya diantarkan hingga ke rumah masing-masing. Ada 36 orang pengungsi dari Wamena yang kembali ke Simalungun.
Juraini Boru Purba, Camat Pematang Bandar mengatakan bahwa pihaknya siap membantu apapun yang dibutuhkan oleh pengungsi dari Wamena ini.
“Untuk sekarang sesuai dengan arahan Bupati Simalungun supaya membantu para pengungsi untuk pengurusan dokumen kependudukan, selanjutnya bilamana ada anak-anak yang masih ingin melanjutkan sekolahnya kita siap untuk membantunya,” katanya didampingi Lurah Pematang Bandar Edison Damanik dan Lurah Kerasaan I, Dr Saragih.
Pihaknya juga memberikan sejumlah bantuan berupa sembako untuk membantu meringankan beban para pengungsi.
“Walaupun nilainya tak seberapa, tapi kami harapkan dapat membantu meringankan beban mereka,” katanya mengakhiri. (RY/KTN)