Diduga Dikuasai Para Mafia Tanah,Warga Pertanyakan Legalitas Lahan HTR Yang Dikelola  Koperasi di Register 2 Sibatuloting

Bagikan :

Simalungun – Kliktodaynews.com Sejalan dengan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.

Hutan merupakan salah satu kekayaan negara maka penyelenggaraan kehutanan sentiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.

Namun pada kenyataannya,kejadian dilapangan tidak selalu seperti teori,seperti halnya di Nagori Bosar Nauli  Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun,dimana lahan HTR(Hutan Tanaman Rakyat)  Register 2 Sibatuloting yang oleh warga biasa disebut “Juma Sopo Buttak” seharusnya bisa menunjang kesejahtraan kehidupan masyarakat justru hanya menjadi penonton di kandang sendiri.

Hal itu terungkap berdasarkan pernyataan beberapa warga sekitar kepada awak media ini beberapa waktu yang lalu disebuah warung kopi di Nagori tersebut,Mulianto salah satu warga yang juga sebagai petani dan kebetulan mantan anggota koperasi “Dos Roha”menuturkan Lahan HTR tersebut saat ini dikelola melalui koperasi Dos Roha,dimana bebarapa tahun yang lalu melalui koperasi  mereka mengajukan permohonan untuk pengelolaan lahan di Register 2 Sibatuloting.

Setelah melewati pròses yang begitu rumit dan lama akhirnya  permohonan mereka dikabulkan oleh kementerian Kehutanan,yang diteruskan melalui Bupati  Simalungun,menurutnya rumit karna harus melengkapi  3 surat rekomendasi yakni dari Dinas Kehutanan kabupaten simalungun,koperasi kabupaten simalungun dan rekomendasi dari Bupati Simalungun.

Selanjutnya oleh Bupati Simalungun diteruskan ke Dinas Kehutanan simalungun sehinggga oleh Kehutanan dibuat lah Patok,dan dibuat kebijaksanaan dengan penyusunan  RKT(Rencana Kerja Tahunan).

Masih Mulianto ,dahulu ada 180 kepala keluarga lebih yang mengajukan permohonan,namun hanya dia sendiri dari Nagori Bosar Nauli,sementara lainnya ada dari berbagai daerah, sedangkan untuk pendaftaran mereka harus bayar  200.000 rupiah dan untuk uang patok mereka harus bayar 2.000.000 per hektar.

Saat itu Mulianto mendapat lahan 3 Hektar dengan membayar 6.600.000 rupiah,selanjutnya sebagai tanda bukti dia mendapat surat IUPHHK-HTR (Ijin Usaha Pemanfaatan  Hasil  Hutan Kayu -Hutan Tanaman Rakyat)yang dikeluarkan oleh Koperasi Dos Roha dengan nomor,SK.73/IUPHH-HTR/KD-SIM/Vll/2015.

Namun yang membuatnya sedih,meski namanya sudah terdaftar sebagai anggota dan selalu mengikuti proses hingga berhasil bahkan sudah membayar kewajiban,sehingga  memiliki surat ijin pengelolaaan Lahan HTR tersebut akan tetapi kenyataannya  hingga saat ini dia tidak memiliki  lahan sejengkal pun di areal tersebut,yang lebih mirisnya lahan yang seharusnya menurutnya hak nya malah sudah dikerjakan orang lain dengan alasan sudah membeli dari seseorang dengan harga 20.000.000 rupiah.

Sehingga menurutnya hal ini merupakan sebuah kesalahan besar,karena sesuai aturan HTR yang dia ketahui tidak boleh terjadi transaksi jual beli lahan,karena merupakan lahan kehutanan yang diijinkan pemerintah untuk diolah masyarakat dengan sistem tompang sari dengan waktu 60 tahun dan diperpanjang 35 tahun jika dianggap berhasil,”yang pasti adalah sistem kontrak jadi tidak boleh diperjual belikan”tandasnya

Bukan hanya itu,menurutnya di Lahan HTR tersebut sudah banyak terjadi ketimpangan,”bahwa yang sebenarnya sesuai aturan pengelolaan HTR lahan tersebut harus ditanami pohon karet ,namun kenyataannya bisa kita lihat bang yang ada banyak ditanami palawija seperti Cabe,jagung,jahe dan tanpa tanaman keras,itu kan sudah jelas menyalahi aturan”,ungkapnya bernada tinggi sembari mengetuk ketuk meja didepan warga lainnya

Selain itu dia juga menduga koperasi tersebut sudah tidak pernah lagi membayar kewajiban kewajibannya”,PSDH(Provisi Sumber Daya Hutan),atau pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai intristik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara”,bahkan  dugaannya didalamnya sudah terjadi jual beli lahan karena saat ini yang menguasai lahan didalamnya adalah orang orang besar.

Hal itu diaminkan warga lainnya,kepada awak media ini lelaki yang mengaku bermarga manurung menuturkan,sebenarnya HTR tersebut diberi pemerintah untuk diolah masyarakat,dengan catatan khusus untuk warga sekitar Registèr 2 sibatuloting,bahkan menurutnya ada istilah ring 1dan 2 yang paling berhak mengelola lahan tersebut,yakni masyarakat yang berdomisili di Nagori Bosar Nauli

“Namun apa,sekarang yang berkuasa disana adalah orang orang besar,seperti pengusaha,pejabat,Anggota DPRD,PNS dan Warga diluar desa kami ini,malah kami putra daerah menjadi penonton di kampung sendiri,dan pun apabila ada disana warga yang mengelola lahan,kita yakin itu adalah penggarap diluar lahan HTR Yang Dikelola Koperasi”,ungkapnya

Lebih lanjut,dia menyatakan sepaham dengan rekannya Mulianto bahwa telah terjadi begitu banyak ketimpangan  disana,salah satunya adalah transaksi jual beli lahan,penguasaan lahan oleh seseorang melebihi kapasitas,perubahan daur dan jenis tanaman,penelantaran lahan karena pengelolanya jauh diluar daerah sehingga tidak ada waktu untuk mengelo lahan tersebut,dan dimungkinkan masih banyak lagi pelanggaran jika ditelusuri lebih jauh,sehingga mereka merasa legalitas pengelolaan lahan tersebut oleh koperasi Dos Roha  diragukan sehingga pantas untuk direvisi ulang.

Menindak lanjuti informasi tersebut,kru media coba pertanyakan legalitas koperasi yang dimaksut warga  kepada pemerintahan Nagori Bosar Nauli Kecamatan hatonduhan kabupaten simalungun.

Suriaten.Amk selaku pangulu pada hari jumat  12/02/2021 dikantor nya mengaku  tidak mengetahui adanya koperasi “Dos Roha”didaerahnya secara administrasi,namun hanya mendengar ķabar bahwa ada  sebuah koperasi dari luar daerah mengelola lahan HTR di Register 2 sibatuloting  yang berada di nagorinya,”mereka belum pernah ada lapor ke kita bang dan tidak ada komunikasi,jadi kita tidak mengetahui legalitasnya dan keberadaanya di daerah kita”tukas pangulu menaggapi.

Sementara itu diwaktu yang bersamaan,Tukiman selaku sekdes Nagori,mengaku agak geram juga dengan keberadaan Koperasi tersebut,selain tidak ada warganya yang ikut mengelola lahan HTR tersebut  pihak koperasi juga tidak koordinasi dengan pemerintahan Nagori,sehingga ia pun mengharap kepada awak media ini agar mengangkat kebenaran yang terjadi di Lahan HTR tersebut. 

Sebagai informasi,berikut PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor: P.39/Menhut-II/2008 Tentang tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pemegang izin pemanfaatan hutan yang tertuang dalam pasal 25,dimana;

Pemegang IUPHHK pada HTR dalam hutan tanaman dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin apabila:

Memindahtangankan izin sebelum mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin;

Tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak izin diberikan ;tidak membayar iuran dan atau dana pemanfaatan hutan sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan; Meninggalkan areal kerja;

Dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; atau dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri.(SAP/KTN)

Bagikan :