AMMA Desak Polres Simalungun Proses Hukum Pekerja TPL Bukan Terus Menangkapi Masyarakat Adat

Bagikan :

PEMATANGRAYA-KLIKTODAYNEWS.COM Seratusan orang massa gabungan dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) berunjuk rasa di Markas Polres Simalungun dan kantor Bupati Simalungun, di Pematangraya, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Selasa (4/2/2020) pagi. Aspirasi yang mereka bawa antara lain, mendesak menghentikan penangkapan baru terhadap masyarakat adat.

AMMA menyayangkan Polres Simalungun yang memproses hukum dua pejuang masyarakat Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Simalungun.

“Kami dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat mendesak Polres Simalungun untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyararakat adat Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan dan Sudung Siallagan, yang memperjuangakan hak dan kedaulatan atas tanah adatnya,” demikian bunyi pernyataan AMMA yang ditandatangani Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Siantar-Simalungun sekaligus Pemimpin Aksi Andre Sinaga, dan Agustin Simamora dari Aliansi Masyakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.

AMMA juga mendesak Polres Simalungun untuk memproses laporan Thomson Ambarita berdasarkan Laporan Polisi No.:STPL/84/IX/2019 tanggal 18 September 2019.

Thomson menjadi korban pemukulan, melaporkan dugaan penganiayaan yang dilakukan Humas PT TPL, Bahara Sibuea, saat bentrok terjadi antara petani dari masyarakat adat kontra pekerja PT TPL di Buntu Pangaturan, Sihaporas Aekbatu, pada 16 September 2019.

AMMA terdiri atas elemen Aman Tano Batak, Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, PMKRI Cabang Siantar, GMKI Cabang Siantar-Simalungun, GMNI Cabang Siantar, Saling (Sahabat Lingkungan), Bakumsu, Sapma PP Siantar, dan Walhi Sumut.

Dalam kasus ini, Bahara belum diproses hukum, padahal dua tokoh masyarakat adat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Thomson Ambarita (Bendahara Umum Lamtoras) dan Jonny Ambarita (Sekretaris Umum Lamtoras Sihaporas).

Pengunjuk rasa juga meminta Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk segera menerbitkan Perda atau SK Bupati tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakata adat serta wilayah adat di Simalungun.

“Kami juga mendesak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut izin konsesi PT Toba Pulp Lestari dari wilayah adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan.”

Masyarakat Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas di Nagori/Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, dan Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, sudah lebih dulu ada jauh hari sebelum NKRI terbentuk. Masyarakatnya Sihaporas, misalnya, sudah tinggal dan mengelola wilayah adatnya, turun-temurun selama 8 sampai 11 generasi.

Masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan mengelola wilayah adat titipan leluhur dengan nilai-nilai kearian lokal yang mereka pegang teguh sampai hari ini. Namun sejak adanya klaim sepihak Hutan Negara di atas wilayah adatnya, masyarakat adat tidak bisa lagi mengakses hak atas tanah dan wilayah adatnya, belum lagi Izin yang diberikan kepada PT.Toba Pulp Lestari sehingga mengakibatkan wilayah adat terbaik milik Masyarakat Adat beralih fungsi.

Makam leluhur dan lahan pertanian luluh lantak akibat aktivitas masif perusahaan tersebut. Hutan adat yang menjadi sumber untuk keperluaan ritual adat,obat-obatan dan ekonomi turut hancur, belum lagi daerah aliran sungai dan mata air yang menjadi sumber penyangga kehidupan, keperluaan ritual dan menyimpan kekayaan potensial yaitu ikan endemik yang kini semakin langka turut menjadi korban pencemaraan akibat aktivitas pembuangan limbah sehingga membuat kondisi masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan sulit untuk mendapatkan ketersediaan air bersih.

Masyarakat Adat yang tengah berjuang untuk menjaga keutuhan wilayah adat untuk generasi yang akan datang juga kerap mendapat perlakuan diskriminasi dan bahkan kriminalisasi dengan tuduhan menduduki hutan negara, merusak tanaman milik perusahaan.

Seperti pada tanggal 16 September lalu, dua orang masyarakat adat Sihaporas Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita yang sedang bertani di tanah leluhurnya, dan memperjuangkan wilayah adatnya yang berujung bentrok dengan Humas beserta keamanan pihak PT TPL.

Justru Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita yang ditahan polisi pada 24 September 2019, tanpa prosedur yang benar, dan saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Negersi Simalungun.

“Pascabentrok antara masyarakat adat Sihaporas dengan karyawan PT TPL, Thomson Ambarita membuat laporan dugaan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh Humas PT TPL Bahara Sibuea terhadap dirinya, namun hingga saat ini tidak ada penyidikan yang lebih lanjut dari pihak Polres Simalungun. Hal ini jelas merupakan sebuah diskriminasi hukum dan ketidakadilan terhadap masyarakat adat oleh para penegak hukum tersebut,” ujar pengunjuk rasa.

Masyarakat adat Dolok Parmonangan juga tak luput dari ancaman kriminalisasi yang di mana dua orang pejuang masyarakat adat Dolok Parmonangan dituduh menduduki konsesi PT. Toba Pulp Lestari karena mereka bertani di atas tanah leluhurnya. Hal tersebut selalu saja berulang-ulang terjadi terhadap masyarakat adat yang berjuang untuk kedaulatan wilayah adatnya.

Sangat jelas bahwa Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat serta wilayah adatnya yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 B dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35 Tahun 2012 yang menyatakan Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara. Namun sampai saat ini Negara belum hadir untuk menjamin dan melindungi hak-hak masuyarakat adat sebagi pemilik sah dari Republik ini. (RED/KTN)

Bagikan :