Dengan pendekatan dialogis dan kolaboratif, ia menawarkan model kepemimpinan yang inklusif, tanpa kehilangan prinsip.
Saat mengusulkan kerjasama pelatihan bersama Polda Sumut, seperti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan pelatihan jurnalistik di lingkungan kepolisian, Farianda bukan sedang menjual citra, tapi membangun jembatan: antara profesi wartawan dan aparat negara, antara idealisme dan kebutuhan praktis, antara kebebasan dan tanggung jawab. Inilah bentuk kecerdasan kepemimpinan yang jarang, dan karenanya patut diapresiasi.
Kabid Humas Polda Sumut Kombes Ferry Walintukan pun tampak nyaman. Ia bahkan menyampaikan apresiasi atas wartawan yang menjunjung etika serta berharap kemitraan ini semakin erat. “Saya selalu angkat telepon dari wartawan, siapa pun. Kita butuh saling menghargai dan saling memahami,” ujarnya. Ungkapan ini menjadi bukti bahwa relasi yang dibangun PWI Sumut hari ini bukan relasi penuh kecurigaan, melainkan kepercayaan.
*Mengangkat Harkat Wartawan*
Ketika wartawan menjalankan profesinya secara beretika, sesungguhnya mereka tidak hanya menjaga martabat sendiri, tetapi juga memberikan kenyamanan bagi para narasumber. Hal inilah yang tercermin dalam sikap Farianda. Ia menyadari bahwa wartawan yang kompeten dan beradab akan lebih didengar, lebih dipercaya, dan lebih dihormati. Dalam relasinya dengan institusi seperti Polda Sumut, hal itu menjadi sangat strategis: menjaga kredibilitas informasi sekaligus membangun opini publik yang sehat.
Tidak berlebihan jika kita menyebut Farianda sebagai representasi generasi baru pers Indonesia, yang tidak larut dalam glorifikasi konflik dan kontroversi, tetapi justru membangun iklim kerja sama yang produktif antara media dan lembaga negara.