Berbagai persoalan hadir silih berganti dalam kehidupan rakyat.
Konflik petani gurilla vs perkebunan dibiarkan terjadi begitu saja, hingga banyaknya korban berjatuhan, dikriminalisasi dan diintimidasi terus menerus. Pemimpinnya (baca: Walikota) diam dan tidak mau tahu berbuat apa, bahkan dianggap, kota sedang baik-baik saja.
Siantar yang juga dijuluki sebagai kota jasa dan perdagangan, tetapi, kehidupan para pedagangnya, selalu mengalami diskriminasi dalam sebuah kebijakan. Sementara, disisi lain, bertopeng investasi dan pembangunan, pemilik modal besar mendapat keleluasaan membentuk pasarmya sendiri dalam perwujudan izin mall, supermarket dan sejenisnya, dengan membiarkan pedagang kecil bersaing tidak sehat dengan pemilik modal besar.
Ketidakjelasan tentang konsep arah pembangunan kota, menambah buram masa depan kota. Apa yang menjadi skala prioritas kebutuhan kota, belum terwujud sampai saat ini (hubungkan kepada kekayaan dan potensi yang dimiliki kota, sebagaimana dijelaskan sebelumnya). Sistem pembangunan yang dilakukan selalu bersifat tumpang tindih dan “semau gue”, karena memang pemimpinnya (baca : Walikota) minum ide dan lemah kreasi.
Sisanya, pemimpin (baca : Walikota) lebih banyak menghabiskan waktu diacara-acara seremonial yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan khayalak ramai.
***
Kota harus diselamatkan!. Itu kata kunci untuk membuka ruang gelap dari keadaan stagnan, siantar. Mengukir jalan baru, untuk masa depan siantar, kebutuhan mendesak yang harus dikerjakan saat ini!.
Bertemu sosok pasangan Mangatas Marulitua Silalahi-Ade Sandrawati Purba, dengan konsep pembangunan yang dimilikinya, lalu, dikreasi dengan tawaran konkrit program perjuangan PRIMA beserta organisasi sekawan, menjadi kesepakatan bersama untuk memulai perubahan kota siantar ke depan.