Penetapan Kenaikan NJOP Paling Tinggi 100 %

Bagikan :

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan

SIANTAR – Kliktodaynews.com|| Penghargaan yang setinggi-tingginya layak diberikan kepada Pemerintah Pusat atas diberlakukannya mulai 5 Januari 2022, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (UU No.1 Tahun 2022). Pemberlakuan Undang-Undang ini diduga adalah jawaban atau reaksi dari Pemerintah Pusat terhadap kebijakan sejumlah kepala daerah kota / kabupaten di Indonesia yang menetapkan kenaikan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di daerahnya tanpa batas paling tinggi (maksimal), ada daerah tertentu kenaikan NJOP-nya mencapai 1.000 % (seribu persen) lebih.

NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

NJOP memiliki banyak fungsi, salah satu fungsi NJOP adalah sebagai dasar bagi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yaitu pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.

Selain itu NJOP juga berfungsi untuk dijadikan sebagai dasar pengenaan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yaitu pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.

Fungsi lain NJOP juga dipergunakan sebagai dasar pengenaan untuk Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan (PPHTB) dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan.

Fungsi berikutnya, NJOP juga dipakai sebagai dasar pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam pelayanan pertanahan di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional ( Kementerian ATR / BPN ) manakala Kementerian ATR / BPN belum menetapkan Zona Nilai Tanah (ZNT).

Di Indonesia, sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 2022, ditemukan ada sejumlah kepala daerah kota / kabupaten yang menetapkan kenaikan NJOP di daerahnya tanpa batas paling tinggi yaitu mencapai 1.000 % (seribu persen) sampai dengan 2.000 % (dua ribu persen) lebih.

Penetapan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi di masa pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan keresahan dan kemarahan di tengah-tengah masyarakat. Sejumlah aksi bermunculan, mulai dari unjuk rasa, membuat laporan kepada pemerintah pusat, mengajukan keberatan ke pemerintah kota / kabupaten, sampai berujung kepada pengaduan masyarakat (dumas) ke aparat penegak hukum (kepolisian). Hal ini terjadi karena penetapan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi ini mengakibatkan kenaikan luar biasa atas PBB-P2, BPHTB, PPHTB dan PNBP  yang harus dibayar oleh masyarakat.

Penetapan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi ini juga telah mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat (pihak developer, perbankan dan lain-lain) dalam perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, dan lain-lain demikian pula halnya dengan pemberian hak baru (pengurusan atau penerbitan sertipikat tanah) karena  kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak, karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang harus dilunasi terkait kegiatan-kegiatan tersebut di atas.

Lahirnya UU No.1 Tahun 2022 patut disambut gembira oleh seluruh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di sejumlah daerah yang mengalami penetapan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi, karena menurut UU No.1 Tahun 2022 kepala daerah kota / kabupaten di seluruh Indonesia tidak diperbolehkan menetapkan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi dan penetapan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi yang terlanjur ditetapkan sebelum UU No.1 Tahun 2022, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Menurut Pasal 40 ayat  (5) dan ayat (7) UU No.1 Tahun 2022,  NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan oleh kepala daerah paling rendah 20 % (dua puluh persen) dan paling tinggi 100 % (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.

Kemudian menurut Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2022, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka:

  1. peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan
  2. peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Selanjutnya dalam Pasal 189 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2022, disebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka :

  1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
  3. Beberapa pasal yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
  4. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Kemudian menurut Pasal 189 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2022 ditentukan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Pajak dan Retribusi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Dengan mengacu kepada Pasal 40 ayat  (5) dan ayat (7), Pasal 188, dan Pasal 189 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 2022, maka peraturan kepala daerah kota / kabupaten di Indonesia yang menetapkan kenaikan NJOP di daerahnya tanpa batas paling tinggi  (melebihi 100 %) terhitung sejak tanggal 5 Januari 2022, dinyatakan tidak berlaku, karena bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2022.

Dengan tidak berlakunya peraturan kepala daerah kota / kabupaten di Indonesia yang menetapkan kenaikan NJOP di daerahnya tanpa batas paling tinggi (melebihi 100 %) maka segala pungutan dan penerimaan setoran pajak PBB-P2, BPHTB, PPHTB termasuk PNBP yang dilakukan berdasarkan peraturan kepala daerah kota / kabupaten tentang penetapan kenaikan NJOP  tanpa batas paling tinggi, harus dihentikan. Apabila pungutan dan penerimaan pajak PBB-P2, BPHTB, PPHTB termasuk PNBP masih dilanjutkan, itu sama artinya dengan perampokan, karena memungut pajak tanpa dasar hukum (taxation without representation is robbery).

Lebih jauh lagi, sebagai akibat tidak berlakunya peraturan kepala daerah kota / kabupaten di Indonesia tentang kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi karena bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2022, maka kepala daerah kota / kabupaten yang bersangkutan  dihadapkan kepada 2 (dua) opsi atau pilihan yaitu :

  1. Memberlakukan kembali peraturan kepala daerah kota / kabupaten yang lama atau
  2. Memberlakukan peraturan kepala daerah kota / kabupaten yang baru tentang penetapan kenaikan NJOP sebesar paling tinggi 100 % (seratus persen) sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2022.

Jika opsi atau pilihan pertama yang dipilih oleh kepala daerah kota / kabupaten maka  dapat dipastikan tidak ada kenaikan NJOP di daerah kota / kabupaten tersebut.

Jika opsi atau pilihan kedua yang dipilih oleh kepala daerah kota / kabupaten, maka akan terjadi kenaikan NJOP paling tinggi sebesar 100 % (seratus persen) sesuai dengan UU No.1 Tahun 2022.

Opsi atau pilihan manapun yang diambil oleh kepala daerah kota / kabupaten akan berdampak terhadap setoran wajib pajak yang telah terlanjur dibayarkan dengan menggunakan peraturan kepala daerah kota / kabupaten tentang penetapan kenaikan NJOP tanpa batas paling tinggi. Dampak yang pasti adalah wajib pajak telah melakukan kelebihan atas pembayaran pajak.

Menurut peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, terhadap kelebihan pembayaran pajak dikenal 2 (dua) jenis upaya yang dapat ditempuh oleh wajib pajak yaitu restitusi pajak dan kompensasi pajak.

Restitusi pajak adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Tujuan adanya restitusi pajak ialah untuk memberikan dan melindungi hak kepada wajib pajak dan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak. Restitusi pajak adalah suatu hal yang layak dilakukan dan dapat terjadi atas 2 (dua) kondisi yaitu pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang (kondisi ini terjadi di mana wajib pajak membayar pajak padahal seharusnya tidak terutang pajak) dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak di mana wajib pajak membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya dibayar.

Kompensasi pajak adalah permohonan penggunaan kelebihan pembayaran pajak untuk membayar utang pajak wajib pajak pada masa (bulan atau tahun) pajak berikutnya.

Persamaan restitusi pajak dan kompensasi pajak adalah merupakan hak wajib pajak yang dapat diajukan oleh wajib pajak dalam hal adanya kelebihan dalam pembayaran pajak, sedangkan perbedaannya adalah dalam restitusi pajak uang wajib pajak dikembalikan sedangkan dalam kompensasi pajak uang wajib pajak tidak dikembalikan akan tetapi digunakan untuk membayar utang pajak dari wajib pajak untuk masa pajak (pada bulan atau tahun pajak) berikutnya.

Sebagai ilustrasi, di daerah tertentu di Indonesia ditemukan peraturan daerah (Perda) kota / kabupaten yang mengatur tentang kelebihan pembayaran pajak daerah, atas kelebihan pembayaran pajak tersebut para wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada kepala daerah kota / kabupaten. Kepala daerah kota / kabupaten dalam jangka waktu tertentu, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus memberikan keputusan. Apabila dalam jangka waktu tertentu, kepala daerah tidak memberikan suatu keputusan maka permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan.

Mengembalikan kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak bukan perbuatan melawan hukum, karena pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak adalah berdasar menurut hukum dan merupakan perlindungan hukum bagi wajib pajak. (Rel/KTN)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan :