SIPOLHA – Kliktodaynews.com|| Warga Kelurahan Sipolha Horison, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, khususnya Lingkungan IV, keberatan dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengklaim sejumlah lahan mereka sebagai kawasan hutan lindung. Terlebih, klaim tersebut dilakukan pihak KLHK secara sepihak di lahan yang sudah mereka kelola dan usahai selama ini.
Salah seorang warga, Theodore Galimbat Bakkara (79) mengaku dengan tegas menolak klaim yang dilakukan KLHK melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan.
“Saya menilai tindakan tersebut sudah pemerkosaan hak. Kami masyarakat keberatan dan menolak klaim pihak kehutanan yang menyebutkan lahan kami sebagai hutan lindung,” terang Galimbat.
Lebih lanjut Galimbat menerangkan, kebijakan KLHK mengklaim wilayah perkampungan di Dusun IV sebagai hutan lindung, sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat yang tinggal di sana.
Menurut Galimbat, sejak kemerdekaan Republik Indonesia, sudah jelas letak tapal batas antara lahan milik kehutanan negara dengan perkampungan.
“Kami sebagai warga negara, setia dan taat kepada konstitusi UUD 1945. Di sana diatur tentang hak rakyat atau masyarakat,” ujar Galimbat, penduduk Repa.
Diterangkan Galimbat, wilayah yang diklaim sebagai hutan lindung di Kelurahan Sipolha Horison, antara lain, Kampung Binanga Joring, Bandar, Tuktuk Naholhol, Ujung Mauli, dan Repa.
Sebagai masyarakat pemilik hak atas lahan di dusun tersebut, Galimbat dengan tegas menolak klaim oleh KLHK. Warga pun, katanya, segera menyurati KLHK RI di Jakarta.
“Kami keberatan karena sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kami cintai ini, sudah ada tapal batas register kehutanan dengan tanah perkampungan kami. Oleh karena itu, kami keberatan terhadap KLHK yang mengklaim wilayah perkampungan kami sebagai hutan lindung dengan mengaburkan tapal batas yang sebelumya sudah ada dan berbatasan dengan wilayah perkampungan kami,” bebernya.
Atas klaim patok hutan lindung yang dianggap warga dilakukan sepihak dan diam-diam selama sepekan terakhir, kata Galimbat, warga akan mengajukan keberatan kepada pemerintah. Warga meminta agar patok KLHK yang sudah dipasang segera dicabut, dan dikembalikan ke batas register terdahulu.
Dua warga lainnya, Lamhot Damanik dan Topan Bakkara menyampaikan keberatan yang sama. Lamhot menilai pemasangan patok klaim KLHK merupakan pemaksaan terhadap penduduk.
“Itu intimidasi. Pematokan tanpa diketahui masyarakat,” sebut Lamhot, warga Tuktuk Naholhol Dusun IV tersebut.
Topan Bakkara, penduduk Repa menilai pemasangan patok hutan lindung di lahannya merupakan klaim sepihak oleh KLHK.
“Sikap kita jelas menolak dengan tegas, karena itu seperti mengada-ada,” tukasnya.
Menurut Topan, lahan wilayah mereka sudah jelas diakui sebagai lahan perkampungan. Soalnya, sejak lama sudah ada tapal batas antara kawasan hutan lindung dengan perkampungan.
Sementara itu, Kepala Lingkungan IV Kelurahan Repa Sipolha, Japun Damanik mengakui pemasangan pal atau patok batas kehutanan itu dilakukan Sabtu, 20 November 2021. Pemasangan dilakukan pada beberapa titik, di perladangan, di areal makam, di tepi pantai Danau Toba, bahkan di samping rumah warga.
Berkaitan dengan ketidaktahuan oleh warga, Japun menyebut telah menyampaikan ke seorang warga. Sementara warga lainnya tidak mengetahui.
Menyikapi hal ini, Ketua DPRD Kabupaten Simalungun, Timbul Jaya Sibarani meminta kepada KLHK benar- benar melakukan kajian dan cermat melihat kondisi yang ada. Yakni dalam hal penetapan tapal batas hutan dan jeli melihat mana perladangan mana perkampungan yang tidak dalam kawasan hutan lindung.
“Jangan seperti yang terjadi sebelum sebelumnya, ujuk-ujuk memasang tapal batas,” tandasnya.
“Kalau kita mau jujur, hutan yang saat ini ada yang tak bisa dioptimalkan sebagai hutan. Jangan karena ambisinya, rakyat yang dijadikan korban,” ucapnya.
Dikatakannya, saat ini di Pemkab Simalungun tidak ada Dinas Kehutanan.
“Namun bila ada masyarakat menjadi korban, tentu kita tidak tinggal diam!” tegas Timbul, seraya menyarankan kepada masyarakat yang merasa dirugikan agar mengambil langkah dengan menyurati pemerintah. (TIM/KTN)