Polemik Klaster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja, antara Ditunda dan Dihapus

Bagikan :

Jakarta-Kliktodaynews.com Klaster ketenagakerjaan dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja sejak awal mendapatkan sorotan publik, khususnya dari serikat buruh dan serikat pekerja. Draf dianggap terlalu berpihak pada kepentingan pemodal atau korporasi. Namun, DPR dan pemerintah bergeming dan terus melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Melalui rapat kerja pembahasan RUU Cipta Kerja, DPR dan pemerintah akhirnya sepakat untuk mendahulukan pembahasan klaster-klaster lainnya yang tidak menimbulkan kontroversi publik. Oleh sebab itu, klaster ketenagakerjaan akan dibahas terakhir. “Yang kita sepakati, khsusus klaster ketenagakerjaan kita minta bersama pemerintah agar dilakukan pembahasan di bagian akhir dari keseluruhan klaster,” kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dalam rapat kerja bersama pemerintah di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2020).

Dikatakan, RUU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster pembahasan yang dituangkan dalam 15 bab dan 174 pasal. Selain klaster ketenagakerjaan, 10 klaster lainnya yaitu, penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, serta kemudahan, kemberdayaan, dan perlindungan UMKM dan perkoperasian. Kemudian, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi. Belakangan, Ketua DPR Puan Maharani juga menyuarakan agar Badan Legislasi (Baleg) menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja. Permintaan itu dilontarkan seiring mulai berjalannya proses pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.

“Saya ingin menyampaikan bahwa terkait dengan pembahasan omnibus law Cipta Kerja, untuk klaster ketenagakerjaan, kami meminta kepada Baleg untuk menunda pembahasannya,” kata Puan, Kamis (23/4/2020). Puan meminta Baleg membuka ruang diskusi dengan publik, khususnya serikat pekerja dan buruh, sebelum membahas klaster ketenagakerjaan. Ia juga mengingatkan agar Baleg mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19 saat ini. “Pembahasan pasal-pasal terkait ketenagakerjaaan di RUU Cipta Kerja ditunda selain karena semua pihak sedang fokus pada penanganan pandemi Covid-19, juga agar DPR menerima masukan masyarakat terutama serikat pekerja,” ucapnya. Permintaan dihapus

Beberapa fraksi yang terlibat dalam Panja RUU Cipta Kerja meminta klaster ketenagakerjaan sebaiknya dihapus dari draf. Anggota dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, klaster ketenagakerjaan sebaiknya dikeluarkan dari pembahasan karena substansinya cukup sensitif. “Itu sebabnya salah satu yang diusulkan oleh Bu Rieke dalam rapat Minggu lalu agar ini ada 11 klaster sehingga ada klaster ketenagakerjaan dikeluarkan, atau dibahas paling akhir supaya tidak menghambat pembicaraan yang lain,” kata Hendrawan, Senin (20/4/2020). Kemudian, anggota dari Fraksi Nasdem Taufik Basari menyatakan, bahwa fraksinya bakal melobi fraksi-fraksi lain agar klaster ketenagakerjaan dihapus dari draf omnibus law RUU Cipta Kerja.

Menurutnya, perubahan soal ketenagakerjaan tidak mesti dilakukan melalui omnibus law RUU Cipta Kerja. Perubahan dapat dilakukan melalui undang-undang sektoral.

“Setelah mendengar keberatan dari banyak pihak, terutama serikat buruh, Nasdem usul agar klaster tersebut dicabut saja dari draf RUU agar fokus saja pada tujuan utamanya menciptakan lapangan kerja dengann menyederhanakan aturan dan melakukan debirokratisasi. Nasdem akan lakukan lobi-lobi kepada fraksi lain,” kata Taufik, Selasa (21/4/2020). Tetap ditolak buruh Sementara itu, dilansir Kompas.id, serikat pekerja dan serikat buruh tetap menyampaikan penolakan atas pembahasan RUU Cipta Kerja. Presiden Joko Widodo menerima tiga pimpinan serikat buruh/serikat pekerja di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Mereka adalah Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea, Presiden KSPI Said Iqbal, dan Presiden KSBI Elly Rosita.

“Serikat pekerja menolak keras omnibus law dan meminta pembahasan dilakukan secara terbuka dengan Presiden Joko Widodo,” kata Andi seusai pertemuan. Di saat bersamaan, 92 akademisi Tanah Air menandatangani petisi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Guru Besar Hukum dari Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menyatakan, petisi ini merupakan seruan kepada DPR dan pemerintah agar pembahasan RUU Cipta Kerja segera dihentikan.

“Kami melakukan seruan ke DPR dan pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan membahas lebih lanjut dengan masyarakat yang terkena dampak akibat RUU ini,” kata Susi dalam konferensi pers “92 Akademisi Tolak Omnibus Law’ yang disiarkan virtual, Rabu (22/4/2020). Selain substansi draf RUU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 dinilai tidak etis. Susi menyatakan, pembentukan undang-undang harus tunduk pada nilai etik dan moral. “Penyelenggaraan negara, termasuk pembentukan undang-undang, tidak hanya berlandaskan pada norma konstitusi dan undang-undang, melainkan tunduk pula pada nilai-nilai etik atau moral,” ujar dia.

Sumber : Kompas.com

Bagikan :