NASIONAL-Kliktodaynews.com|| Kepolisian Indonesia memberikan stempel hoaks terhadap berita 63 pasien meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. Sardjito Yogyakarta, akibat kelangkaan oksigen. Tudingan hoaks tersebut ditulis dalam situs tribratanews.bengkulu.polri.go.id dengan judul “Polri Stempel Hoaks Informasi 63 Pasien RSUP dr Sardjito Meninggal dalam Sehari akibat kekurangan oksigen” pada Senin (05/07/2021). Hoaks adalah informasi bohong tanpa sumber jelas.
Artikel tersebut dapat diakses melalui link berikut: https://tribratanews.bengkulu.polri.go.id/polri-stempel-hoax-informasi-63-pasien-rsup-dr-sardjito-meninggal-dalam-sehari-akibat-kekurangan-oksigen/
Berita dalam situs tersebut, mengutip pernyataan Kabid Humas Polda Bengkulu, Kombespol Sudarno,S.Sos, bahwa berita itu tidak benar alias hoaks, dan informasi tersebut telah meresahkan masyarakat Indonesia. “artikel yang berjudul Kehabisan Oksigen, 63 Pasien di RSUP Dr. Sardjito Meninggal Dalam Sehari adalah hoax atau tidak benar,” jelas Kabid Humas Polda Bengkulu, saat dikonfirmasi, Senin, 5 Juli 2021.
Dalam artikel tersebut juga dituliskan, informasi hoaks ini juga telah diposting pada beberapa akun resmi Polri seperti akun instagram Polda_bengkulu. Pada gambar artikel, Polri melabel laporan tersebut dengan stempel hoax.
Cuitan pernyataan Andreas Harsono di akun Twitter, yang mencantumkan laporan yang terbit di Kompas.id berjudul “Kehabisan Oksigen, 63 Pasien di RSUP DR. Sardjito Meninggal dalam Sehari” juga diberikan stempel Hoaks besar berwarna merah, dan tertulis Divisi Humas Polri.
Pantauan AJI Indonesia, berita terkait 63 pasien Covid-19 yang meninggal dunia, akibat habisnya pasokan oksigen di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, telah terbit pada Minggu, 4 Juli 2021. Laporan tersebut dipublikasikan beberapa media nasional, diantaranya CNN Indonesia.com, Tempo.co, Gatra.com, Suara.com dan Kompas. Laporan tersebut merupakan hasil konfirmasi media dengan Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas RSUP Dr Sardjito, Banu Hermawan.
Banu Hermawan menyatakan “Data (63 pasien Covid-19 yang meninggal dunia di RS Sardjito) itu data sejak Sabtu hingga Minggu (3-4 Juli),”. Pernyataan pihak Humas RSUP RS Dr. Sardjito tersebut, menjadi sumber resmi dan terpercaya media, untuk menulis laporan ini. Pemberitaan media tersebut telah memenuhi unsur kaidah jurnalistik dan tidak tepat jika disebut berita bohong dan tanpa sumber yang jelas atau hoaks.
Meskipun sehari setelah berita ini viral, Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito, Rukmono Siswishanto, kemudian melakukan beberapa klarifikasi soal beberapa pasien yang meninggal, tidak tertolong akibat masalah klinis meskipun sudah tersuplai oksigen. Serta berapa jumlah pasien yang tidak tertolong akibat kekurangan tabung oksigen.
Faktanya saat itu, oksigen sentral RSUP Dr Sardjito benar-benar langka dan pasien disokong dengan bantuan oksigen tabung, kiriman dari Polda DIY. Kondisi kritis tersebut, menyebabkan banyak pasien Covid-19 tidak tertolong.
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh institusi negara lain dengan memberikan label hoaks terhadap berita yang merupakan produk jurnalistik. Seperti cap hoaks oleh Puspen TNI terhadap kantor berita Reuters tentang enam demonstran tewas ditembak aparat di Papua. Berikut artikelnya;
Menyikapi hal tersebut, AJI Indonesia menyatakan:
1.Mengecam Divisi Humas Polri dan Polda Bengkulu yang memberikan cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi. Laporan tersebut mencantumkan konfirmasi dari pihak RS DR. Sardjito, Yogyakarta melalui bagian humas. Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik.
2. Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis. Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.
3. Mendesak Divisi Humas Polri mencabut cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi tersebut, serta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Pelabelan hoaks akan membuat pers menjadi takut dalam membuat berita atau dikhawatirkan memicu praktik swasensor. Upaya yang dapat mengarah kepada pembungkaman pers ini pada akhirnya dapat merugikan publik karena tidak mendapatkan berita yang sesuai fakta. Padahal publik membutuhkan informasi yang valid di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir untuk membuat keputusan yang tepat.
4. Kepolisian Indonesia atau Humas Polda Bengkulu dapat meminta hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Pers. Kepolisian juga dapat melapor ke Dewan Pers yang memiliki wewenang dalam penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Polisi sebagai aparat penegak hukum semestinya dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada.
Sumber : AJI Indonesia