Jakarta-Kliktodaynews.com
Direktur The Jakarta Institute (TJI) Reza Fahlevi mengapresiasi keberanian Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Pol. H. Muhammad Tito Karnavian, Ph.D untuk tidak populer di awal jabatannya di Kabinet dengan melempar wacana akan mengevaluasi Pilkada.
Levi mendukung Mendagri yang menyebut Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan akar masalah dari banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena ongkos politik untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah sangat mahal.
“Sudah tidak bisa kita pungkiri Pilkada langsung memiliki sejumlah kekurangan. Sistem politik yang ada membuat putra daerah dengan gagasan hebat namun tidak kuat modal untuk logistik kampanye harus bisa menerima kenyataan mengubur impiannya berkontribusi membangun daerah dengan menjadi Walikota, Bupati atau Gubernur,” urai Levi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/11/2019).
Aktivis yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam itu menghimbau kepada seluruh pihak yang merasa terganggu dengan gagasan Mendagri yang tentu sepengetahuan Presiden untuk berdialektika secara akademis seperti yang disampaikan Mendagri yang akan melakukan riset dan membuka forum secara terbuka untuk berdialog.
Levi menambahkan, kekurangan lain dari Pilkada langsung ialah para calon kepala daerah juga harus memiliki modal dana yang cukup besar karena diharuskan berkampanye secara fisik dari pintu ke pintu (door to door) dan rawan disusupi kepentingan pemodal.
“Selain itu, pemilih akan menjadi individualis dan materialistis, calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah,” imbuhnya.
Levi juga mengingatkan, pilkada langsung berpotensi terjadinya konflik horizontal maupun vertikal antarbasis pendukung calon, terlebih, apabila pemahaman politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang.
Penyelenggaran pilkada langsung, katanya, juga kerap terjadi penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik itu dari anggaran bantuan sosial maupun pos anggaran lain oleh petahana untuk kepentingan pribadi karena maju kembali bertarung dalam pilkada.
“Tak jarang daerah abai dalam mempersiapkan kebutuhan anggaran pilkada sehingga membuat daerah kebingungan saat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada,” tuturnya.
Karena itu, Levi berharap wacana Mendagri untuk mengevaluasi Pilkada tidak ditanggapi secara nyinyir tanpa argumentasi yang jelas atau hanya sekadar emosi karena menganggap mengusik Pilkada yang merupakan produk demokrasi sama juga mundur ke belakang dan kemudian melabelkan orang yang anti Pilkada berarti musuh demokrasi dan bagian dari Orde Baru.
“Memang benar dengan Pilkada partisipasi demokrasi menjadi lebih baik ketimbang dipilih DPRD yang sarat praktik oligarki dan seperti membeli kucing dalam karung. Toh evaluasi Mendagri terhadap Pilkada bukan juga meminta untuk kepala daerah kembali dipilih DPRD,” tegas Levi.
Lebih lanjut dikatakan dia, Mendagri hanya menawarkan Pilkada untuk dievaluasi. Jika memang Pilkada dirasa lebih berfaedah sebagai sebuah sistem pemilu untuk memilih pemimpin di daerah dengan memperbaiki berbagai kekurangannya, Mendagri pun tidak keberatan.
“Namun kalau Pilkada dirasa lebih banyak mudharatnya, ya kita sebagai sebuah bangsa tentu harus berbenah dengan mengubahnya menjadi sebuah sistem yang lebih baik. Kalau begitu, apapun metodenya, mari bersama kita cari formula terbaik agar kepala daerah tidak ada lagi yang terjerat korupsi karena harus balik modal,” demikian Levi.(RS/KTN)