Memaknai Silaturahmi Elite Politik

Bagikan :

Jakarta-Kliktodaynews.com Dalam beberapa hari terakhir, media massa dipenuhi oleh berita tentang pertemuan sejumlah tokoh politik. Setelah Jumat lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Prabowo Subianto di Istana, Ketua Partai Gerindra tersebut mulai menyambangi satu per satu ketua parpol pendukung Presiden Jokowi.

Pada Minggu (13/10), calon presiden pada Pilpres 2019 tersebut juga menemui Ketua Partai Nasdem, Surya Paloh, kemudian dilanjutkan esoknya (13/10) bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Jauh sebelumnya, Prabowo juga sudah “sowan” ke kediaman Ketum PDIP Megawati Sukarnoputri, dan juga ke kediaman Ketum PPP Suharso Monoarfa. Dan rencananya, pada 15 Oktober ini, Prabowo juga akan menemui Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Perdagangan Airlangga Hartanto.

Bila kita menengok ke belakang, khususnya dalam lima tahun terakhir, rangkaian pertemuan para tokoh bangsa ini terbilang langka terjadi. Dalam kerangka itu, tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa rangkaian pertemuan ini adalah upaya elite politik untuk membangun koalisi bersama. Sehingga fenomena ini tampak menakutkan. Sebab bila diintai dari perspektif demokrasi, hal tersebut berpotensi mengebiri fungsi check and balances karena tidak menyisakan ruang bagi adanya oposisi yang seharusnya ada dalam sistem negara demokrasi.

Tapi bila kita perbesar skema analisisnya, demokrasi membutuhkan modal sosial yang kokoh sebagai poros pertumbuhannya. Dan itu tidak akan terwujud selama elite politik dan para tokoh masyarakat tidak menyatukan visi politiknya terkait masa depan bangsa dan negara. Terkait hal itu, penting bagi kita melihat skema besarnya.

Mengamankan Modal Sosial

Sebagaimana kita ketahui, ingar bingar persaingan Pilpres 2019 memang sudah kita lewati. Tapi limbah konflik Pilpres 2019 yang begitu berserak tidak begitu saja mudah disusun kembali menjadi harmoni. Bahkan setapak demi setapak limbah konflik tersebut mulai didaur ulang ke dalam formasi konflik politik baru yang makin kompleks.

Kondisi ini perlu menjadi keprihatinan kita bersama. Sebab setelah semua yang sudah kita lalui, kita tidak tahu, apakah masih tersisa energi dan modal sosial bangsa ini bila ternyata dinamika politik dari perhelatan ini terus bereskalasi.

Di sisi lain, kelas menengah kita, yang secara teoritis merupakan kunci tegaknya sistem demokrasi, sekarang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Mereka kini sudah terfragmentasi dan terpolarisasi ke dalam dua kubu yang masih terus saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain.

Dalam kasus ini, kita tidak boleh tutup mata bahwa polarisasi massa pasca Pilpres 2019 lalu mulai membentuk pattern budaya politik yang konfliktual. Semua isu politik, momen politik, dan agenda politik selalu membelah opini masyarakat ke dalam dua kubu yang konfrontatif.

Bahkan kini, pattern yang sama masih terus bereskalasi, dan membentuk konfigurasi yang sama di setiap isu politik yang muncul di negara ini. Padahal di tangan kelas menengahlah modal sosial, kohesi sosial, dan nasib demokrasi kita di pertaruhkan.

Dalam diskursus demokrasi, salah satu prasyarat tegaknya demokrasi adalah bila kelas menengah dalam suatu negara tumbuh. Merekalah yang disebut sebagai civil society, kelompok suci pengawal altar demokrasi. Merekalah simpul kohesi sosial, sekaligus sebagai kelas yang paling bertanggung jawab dalam mengamankan modal sosial masyarakat.

Secara umum, modal sosial didefinisikan sebagai investasi dalam hubungan sosial yang diharapkan satu saat akan kembali. Nan Lin (2001) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa investasi yang dimaksud diharap dapat digunakan sebagai sarana memperkuat (reinforce) identitas social dan pengakuan (recognition) atas eksistensinya. Investasi ini bisa berupa toleransi, persatuan, dan kerja sama

Dalam perspektif yang lebih kompleks, modal sosial ini sangat beragam bentuk dan penafsirannya. Namun secara umum, para sosiolog sepakat bahwa modal sosial yang dimaksud adalah nilai dalam sebuah masyarakat yang menjadi esensi terjalinnya kohesi sosial, sekaligus menjadi identitas suatu masyarakat.

Terkait dengan apa yang sudah kita lewati selama lima tahun ke belakang dan berpuncak di pertarungan politik Pilpres 2019 lalu, hampir semua kita menyepakati bahwa begitu banyak nilai yang merupakan modal sosial masyarakat kita menguap begitu saja. Satu per satu identitas bangsa kita mengalami erosi yang hebat.

Jangan tanya tentang semangat gotong royong yang menurut Bung Karno dianggap sebagai “amaliah bersama” seluruh elemen bangsa. Sekarang kita bahkan terbiasa curiga, menebar kebencian tanpa batas, dan bahkan menyebar berita bohong (hoax) untuk tujuan melampiaskan rasa benci itu. Kompetisi kita saling memangsa, dan demokrasi kita beda tipis dengan anarki.

Selama bertahun-tahun, segregasi sosial dan friksi antarkelompok di negeri ini terus meningkat hari demi hari. Akibatnya, hakikat nilai kebhinekaan bangsa kita melepuh. Kita bahkan tidak bisa memahami rasa ketersinggungan sesama anak bangsa, hingga ujaran kebencian sampai ucapan rasisme sangat mudah terlontar. Dan dampaknya tidak main-main. Sebagaimana kita saksikan, Papua bergolak, sampai memunculkan krisis sosial yang memprihatinkan.

Lebih dari itu, masih begitu banyak lagi nilai perekat bangsa ini terguncang, dan menjadi konsep yang rancu selama konflik politik ini. Dan sekarang, modal sosial kita sudah sangat tipis, bahkan defisit luar biasa.

Tantangan ke Depan

Persoalannya, tantangan yang akan dihadapi bangsa ini ke depan cukup pelik. Sebagaimana banyak dikatakan oleh para analis, ancaman krisis ekonomi global sudah di depan mata. Beberapa negara pun sudah menjadi mangsanya. Dinamika politik dan keamanan dunia juga terus meningkat eskalasinya. Negara-negara adidaya tak hentinya melakukan manuver di segala bidang yang berdampak pada berguncangnya sendi-sendi kehidupan masyarakat di dunia.

Pertanyaannya, masih seberapa kuat modal sosial kita sebagai sebuah bangsa dalam menghadapi semua tantangan itu? Sedang saat ini saja, anasir ancaman tersebut sudah cukup terasa di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila tidak cukup kuat, dikhawatirkan satu per satu fundamen kebangsaan kita akan lepas dari porosnya, dan sistem masyarakat di negara yang konon terbuka, toleran, dan tata tentrem kerta raharja ini akan kehilangan esensinya.

Dalam kerangka itu, kita tidak mungkin meletakkan tanggung jawab sepenuhnya pada pundak Presiden Jokowi dan membiarkannya bekerja sendiri. Itu sebabnya seluruh tokoh bangsa, elite politik dan masyarakat seluruhnya harus merapatkan barisan. Kesadaran inilah yang agaknya melambari sejumlah kunjungan yang dilakukan oleh para tokoh dan elite politik kita akhir-akhir ini.

Dengan demikian, bila dilihat dari perspektif yang lebih luas, bertemunya para tokoh dan elite politik dalam bingkai kebersamaan sebenarnya sangat dibutuhkan. Selain untuk menghadapi tantangan global, hal itu juga menjadi langkah awal bagi bangsa ini untuk mengumpulkan kembali modal sosial kita yang sudah defisit luar biasa.

Semoga saja langkah awal ini bisa menetes hingga ke akar rumput. Sehingga bangsa ini memiliki kuda-kuda yang cukup kuat dalam menghadapi segala tantangan yang muncul baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Aziz Syamsuddin Wakil Ketua DPR

Sumber : Detikcom

Bagikan :