INTERNATIONAL – Kliktodaynews.com|| Sedikitnya 50 warga sipil tewas dalam serangan oleh kelompok ekstrem di Desa Seytenga, Burkina Faso, pada Sabtu (11/6/2022).
“Tentara sejauh ini menemukan 50 mayat,” jelas Juru Bicara Pemerintah, Lionel Bilgo, dikutip dari AFP, Selasa (14/6/2022).
“Kerabat [korban] telah kembali ke Seytenga dan mungkin telah mengambil mayatnya,” lanjut dia.
Bilgo menambahkan, jumlah korban mungkin akan bertambah. Uni Eropa (UE) menduga, serangan teroris itu menyebabkan lebih dari 100 korban sipil. UE mengutuk keras dan menyerukan penjelasan atas pembunuhan tersebut.
“Metode yang digunakan oleh kelompok teroris yang melakukan serangan, yaitu eksekusi sistematis terhadap siapa pun yang mereka temui di desa, sangat mengerikan,” bunyi peryataan Perwakilan Tinggi UE untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrell.
Seytenga menyaksikan pertempuran yang merenggut nyawa sebelas polisi pada pekan lalu. Bentrokan itu memicu operasi militer yang menewaskan sekitar 40 jihadis.
Menurut Bilgo, serangan jihadis teranyar itu merupakan pembalasan dendam atas tindakan keras oleh tentara.
Seytenga berada di Negara Bagian Sahel yang telah jatuh dalam cengkeraman pemberontakan ekstrem Islam selama tujuh tahun. Konflik tersebut telah menewaskan lebih dari 2.000 nyawa dan menelantarkan 1,9 juta orang.
Sekitar 3.000 warga Seytenga juga terpaksa melarikan diri. Mereka ditampung di kota-kota tetangga.
Pada Sabtu (11/6/2022), ratusan demonstran berkumpul di Pama. Mereka mengatakan, wilayah mereka telah diabaikan oleh pihak berwenang meskipun dikepung kelompok jihadis.
Sejumlah wilayah lain di utara dan timur juga berada dalam cengkeraman blokade de-facto oleh para jihadis. Kota-kota tersebut termasuk Djibo, Titao, dan Madjoari.
Terorisme berpusat di utara dan timur negara itu. Para penyerang diduga memiliki hubungan dengan Al-Qaeda atau kelompok ISIS.
Serangan terakhir merupakan salah satu yang paling berdarah sejak kudeta militer pada Januari 2022. Para kolonel yang marah atas kegagalan menghentikan pemberontakan menggulingkan presiden terpilih saat itu, Roch Marc Christian Kabore.
Penguasa baru, Letnan Kolonel Paul-Henri Sandaogo Damiba, segera bersumpah untuk menjadikan keamanan sebagai prioritas utamanya.
Kekerasan kemudian melandai untuk sementara waktu. Namun, serangan kembali meletus usai jeda tersebut. Selama tiga bulan terakhir, kelompok teroris telah menewaskan hampir 300 warga sipil dan militer.
“Pasukan kami menghadapi tantangan berat–mereka berada di bawah tekanan terus-menerus,” ungkap Bilgo.
Sumber : kumparan.com