Kliktodaynews.com
Kenapa kita menjadi bangsa yang begitu abai kepada masa lalu?
Saya tidak yakin apakah pertanyaan itu sungguh-sungguh tepat. Kalau dibilang kita tak peduli masa lalu, buktinya kadang malah bermunculan klaim-klaim kejayaan masa silam yang terlalu bombastis, pseudo-history, dan memunculkan imajinasi glorifikasi.
Namun, jika dikatakan kita punya perhatian cukup kepada masa lalu, kenapa banyak hal dari masa lalu kita campakkan dan sia-siakan?
Kegalauan itu menyembul-nyembul pada suatu siang, beberapa bulan lalu, ketika saya dan beberapa kawan nongkrong di sebuah gubuk warung kopi. Di hadapan kami membentang sepetak tanah lapang yang kering berdebu. Di kiri-kanan lapangan, rimbun pepohon asam jawa menciptakan bayang-bayang memanjang, dan rumah-rumah klasik bergaya kolonial berjajar di bawah deretan pohon wingit itu.
Terasa teduh. Damai. Tapi menyisakan perih berlarat-larat.
Rumah-rumah kuno di hadapan kami sekarat dan tinggal menunggu nasib keruntuhan mereka. Tak tampak jejak tangan-tangan yang mencoba menyelamatkan, pun meski sekadar mencegah agar mereka tidak ambruk begitu saja. Padahal, ada sejarah panjang di sana. Sejarah kejayaan yang amat panjang, yang membuat tanah Madura memberikan sumbangsih amat besar bagi kejayaan ekonomi Nusantara: garam.
Ya, deretan perumahan di hadapan kami itu milik PT Garam di Kalianget, Sumenep. Berdiri sejak zaman kolonial, terus digunakan selama kejayaan PT Garam di era kemerdekaan, dan sekarang seiring senjakala perusahaan negara tersebut, senja menimpa pula bangunan-bangunan klasik itu. Sekali lagi: tanpa terlihat sedikit pun upaya penyelamatan.
Saya langsung teringat satu kisah mengenaskan tentang peninggalan kejayaan masa silam yang tersia-siakan.
Alkisah, kawan saya yang tinggal di Pleret, Bantul, bercerita. Ia didatangi seorang turis asing yang bertanya dengan antusias.
“Ini Desa Kerto, bukan? Dulu tempat istana Sultan Agung? Di mana istananya? Di mana istana milik Sultan Agung yang tersohor itu?”
Asnawadi, kawan saya itu, melongo. Dia sendiri kaget. Sebagai warga asli Desa Kerto, sejak kecil dia tak pernah menyaksikan istana Sultan Agung. Penasaran, dia pun bertanya ke orang-orang tua yang ada di lingkungannya.
Ternyata jawabannya sangat dahsyat: sisa-sisa Istana Kerto tempat bertakhta Sultan Agung Hanyokrokusumo telah lenyap, sebab bata-bata reruntuhannya diambili warga untuk dihancurkan sebagai campuran semen perekat material rumah-rumah mereka!
Maka, saya tak terlalu menyalahkan Hanung Bramantyo ketika pendopo paseban keraton dalam film Sultan Agung karyanya tampak tidak cukup mewakili kemegahan Mataram, imperium yang berani dua kali menerjang Batavia itu. Sebab memang sama sekali tak ada referensi konkret yang dapat diacu.
Cerita pilu yang sama terjadi pada benteng Keraton Mataram di Kotagede, benteng Keraton Yogyakarta yang digerogoti permukiman warga, dan entah mana lagi.
Jadi, sebegitu tak pedulikah kita kepada masa lalu?
Saya memang seorang lelaki rapuh yang terlalu obsesif kepada masa lalu. Masuk ke sebuah tempat yang meninggalkan jejak-jejak masa lalu selalu membuat dada saya berdesir-desir.
Saya ingat awal mulanya, ketika suatu malam dua dekade silam saya menonton film dokumenter lawas tentang kota saya berlatar zaman Jepang. Tiba-tiba saya merasa “ngeri” hanya karena membayangkan bahwa salah satu orang yang melintas di film itu adalah kakek buyut saya. Hal seremeh itu saja sudah membuat saya merinding.
Sejak itu, selalu perasaan yang nyaris sama saya rasakan ketika masuk ke tempat-tempat lawas. Saya ingat sekali, saat berdiri di atas Benteng Agra sambil memandangi Taj Mahal dari kejauhan, saya terdiam begitu lama, sambil merasa yakin bahwa tempat berpijak saya itulah yang dulu dipakai oleh Shah Jahan saat suatu malam ia menangis sesenggukan merindukan mendiang istrinya, sambil menatap monumen kematian sang terkasih di ujung sana. Bahkan bisa jadi bekas tetesan air mata Jahan di bibir jendela tersentuh ujung-ujung jari saya. Itulah yang saya pikirkan, dan tiba-tiba kuduk saya meremang.
Saat saya masuk dan meraba sudut-sudut Kastil Osaka, saya seolah merasakan bekas sentuhan tangan lincah Toyotomi Hideyoshi, Sang Taiko yang digambarkan dalam novel Eiji Yoshikawa itu. Empat abad lebih telah berlalu, dan sentuhan itu rasanya masih hangat saja, diselingi kelebat bayangan para samurai pengabdi Hideyoshi yang berlarian entah karena kepanikan macam apa, dan semua imaji itu terjaga dengan tetap tegaknya Kastil Osaka.
Perasaan yang persis sama muncul lagi, ketika saya kembali ke Negeri Kakek Sugiono itu lima tahun setelahnya, sebulan setelah saya menangisi Kalianget. Tangan saya meraba-raba batang-batang kayu di struktur bangunan tua Kastil Himeji, dan rasa perih itu lebih parah lagi, berlipat-lipat dibanding ketika saya memandangi deretan rumah Belanda di kompleks PT Garam. Perih, karena saya tahu bangunan itu masih bertahan dalam segala keasliannya sejak tahun 1600. Dan itu masa yang sama dengan masa kejayaan Agung Hanyokrokusumo!
Oke, oke. Menjadikan Jepang sebagai pembanding agaknya terlalu berlebihan. Kalau begitu, kita bergeser saja ke Ayutthaya, 90 kilometer utara Bangkok. Januari lalu kami sekeluarga bersepeda blusukan ke sekujur jalan tikus di kota kuno itu, dan mendapati mantan metropolitan itu masih meninggalkan jejak-jejak fisik yang signifikan di segenap sudut wilayahnya. Bagaimana bisa? Padahal material bangunan-bangunan di sana sama rapuhnya dengan Keraton Pleret, sedangkan umurnya bahkan dua abad lebih tua!
Sejauh apa pentingnya menghargai masa lalu? Saya juga tidak tahu. Apakah kunci kemajuan suatu bangsa terletak pada penghormatannya kepada masa lalu, ataukah kunci penghormatan kepada masa lalu terletak pada kemajuan suatu bangsa? Itu pun saya tidak tahu.
Jangan-jangan, semua ini juga cuma naluri sentimentil belaka dari lelaki rapuh yang, lagi-lagi, terlalu obsesif dengan masa lalu.
Pekan kemarin, saya melangkah masuk ke bangunan kokoh itu. Siang dengan matahari yang amat menyengat di Fort Rotterdam. Itu benteng lama yang sangat terkenal, dan sering digunakan sebagai lokasi acara-acara kebudayaan.
Ada satu sudut di sana yang saya tuju sejak semula: rumah mungil berlantai dua atau tiga, tempat dulu para serdadu kolonial menyekap panglima tangguh bergelar Diponegoro.
Sama persis dengan biasanya, saya membayangkan sensasi itu. Masuk ke rumah tahanan Mas Ontowiryo tentunya akan membawa perih yang amat menyayat. Seorang pembangkang terbesar di Jawa, yang menimbulkan kerusakan terparah bagi segenap infrastruktur kolonial pada masanya, tengah menjalani hari-hari yang sunyi, tanpa masa depan, dalam pahitnya rasa kekalahan. Dendam karena ditipu, benci yang tak dapat dilampiaskan, dan emosi itu pasti masih membekas di belasan anak tangga dan kusen-kusen jendela.
Saya melangkah mendekat. Saya sentuh pintunya, dan pelan-pelan mendorongnya.
Sayang, pintu rumah kecil itu digembok. Tak dapat dibuka, apalagi dimasuki. Saya pun mengintip lewat jendela berterali, sembari berharap ada kelebat bayangan lelaki kurus pucat yang menyimpan amarah bertumpuk-tumpuk.
Tapi yang saya lihat cuma sepeda rusak yang teronggok di sudut. Sepeda dari abad ini. Juga seragam Satpol PP, entah milik siapa. Sependek yang saya tahu, Satpol PP belum berdiri di tahun-tahun selepas Perang Jawa.
Hmm, ya, rumah penuh sejarah itu jadi gudang sahaja. Terlantar, tanpa penghormatan sewajarnya. Bergumul debu, persis sebagaimana lazimnya sikap kita kepada setiap jengkal masa lalu.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
Sumber : Detikcom